MATRAKAB.COM – Kali ini gue mau ngajak kalian nostalgia ke masa lalu—zaman di mana Indonesia belum merdeka dan pendidikan masih jadi hak istimewa segelintir orang. Tapi di tengah masa kelam itu, muncul sosok luar biasa yang berani melawan ketidakadilan lewat jalur pendidikan. Namanya Ki Hajar Dewantara. Gue yakin deh, minimal kalian pernah lihat namanya di papan sekolah atau nama jalan.

Tapi sebenarnya, siapa sih Ki Hajar Dewantara itu? Kenapa beliau disebut sebagai pahlawan pendidikan? Dan gimana perjuangannya ngelawan penjajahan lewat dunia pendidikan? Yuk, kita bahas bareng-bareng.


Dari Jurnalis ke Pejuang Pendidikan

Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1889. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, beliau nggak tinggal diam melihat ketimpangan sosial yang terjadi. Semakin dewasa, beliau makin peka terhadap sistem kolonial yang sengaja bikin rakyat pribumi tertinggal, khususnya dalam hal pendidikan.

Awalnya, beliau aktif di dunia jurnalistik. Gaya tulisannya tegas dan berani. Salah satu tulisannya yang paling terkenal berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Dalam artikel itu, Ki Hajar menyindir keras pemerintah kolonial yang ngerayain kemerdekaan Belanda, tapi di sisi lain terus menekan rakyat Indonesia.

Akibat tulisannya, pemerintah kolonial membuang beliau ke Belanda. Tapi justru di sana, beliau nggak menyia-nyiakan kesempatan. Ki Hajar belajar banyak soal sistem pendidikan modern dan merancang gagasan besar untuk Indonesia.


Pendidikan: Jalan Perlawanan Tanpa Kekerasan

Setelah pulang ke tanah air, Ki Hajar langsung bergerak. Pada tahun 1922, beliau mendirikan Taman Siswa—sekolah yang terbuka untuk rakyat biasa. Langkah ini nggak cuma berani, tapi juga sangat revolusioner untuk zamannya. Pendidikan bukan lagi milik kaum elit, tapi hak semua orang.

Lebih dari itu, pendekatan yang beliau terapkan di sekolah ini juga beda. Murid-muridnya diajak berpikir kritis, mandiri, dan mencintai tanah air. Oleh karena itu, nggak heran kalau banyak tokoh penting Indonesia lahir dari lingkungan Taman Siswa.


Filosofi Pendidikan yang Tetap Hidup

Kamu pasti pernah denger kalimat, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, kan? Nah, itu filosofi pendidikan yang Ki Hajar rancang sendiri.

  • Ing ngarso sung tulodo: di depan, harus jadi teladan

  • Ing madyo mangun karso: di tengah, membangun semangat

  • Tut wuri handayani: di belakang, memberi dorongan

Filosofi ini nggak cuma cocok untuk guru, tapi juga relevan buat siapa pun yang punya peran sebagai pemimpin. Ki Hajar ngajarin bahwa pendidikan itu bukan cuma soal hafalan, tapi soal membentuk karakter dan semangat kebangsaan.


Warisan yang Masih Terasa Sampai Sekarang

Tanggal 2 Mei, hari kelahiran beliau, kita rayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tapi menurut gue, menghargai perjuangan beliau nggak cukup hanya lewat upacara atau poster. Kita harus terus bawa semangatnya ke masa kini—bikin pendidikan yang merdeka, adil, dan nyambung sama kebutuhan zaman.

Sekarang tantangannya beda. Dunia udah masuk era digital, dan banyak hal berubah. Namun, satu hal tetap sama: pendidikan harus bisa diakses semua orang. Ki Hajar udah nunjukkin bahwa pengetahuan adalah senjata paling kuat untuk melawan ketidakadilan—tanpa kekerasan.


Penutup

Ki Hajar Dewantara bukan sekadar tokoh sejarah yang kita pelajari di sekolah. Beliau adalah bukti nyata bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kelas. Perjuangannya ngelawan penjajahan lewat pendidikan jadi inspirasi buat generasi sekarang.

Jadi kalau hari ini lo bisa bebas belajar, punya suara, dan ngejar impian lo sendiri, jangan lupa—ada perjuangan panjang di balik itu semua. Dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah itu adalah Ki Hajar Dewantara.