matrakab.com – Setiap pagi, Dimas (11) menyusuri gang-gang sempit di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengumpulkan rongsok. Ia membawa karung di punggung kecilnya, mencari kardus, botol plastik, dan logam bekas demi membantu ekonomi keluarganya. Meski hidup dalam keterbatasan, Dimas tetap memelihara mimpinya: menjadi seorang guru.
Dimas tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya sudah lama meninggalkan keluarga. Meski tidak memiliki biaya untuk sekolah formal, Dimas tidak menyerah. Ia mendaftar sebagai calon siswa di Sekolah Rakyat, sebuah lembaga pendidikan alternatif yang membuka akses belajar bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
“Saya ingin jadi guru supaya bisa ngajarin anak-anak lain yang nasibnya sama kayak saya,” ucap Dimas dengan mata berbinar. Setiap malam, ia membaca buku bekas yang dikumpulkannya dari rongsok. Ia belajar huruf dan angka secara otodidak, sambil menunggu kesempatan untuk bisa belajar di kelas sungguhan.
Pengelola Sekolah Rakyat menyambut Dimas dengan hangat. Mereka melihat semangat belajar yang kuat dalam diri bocah itu. Para relawan guru siap membimbingnya agar mampu mengejar pelajaran dasar dan perlahan mendekatkan diri pada cita-citanya.
Kisah Dimas menjadi pengingat bahwa kemiskinan tidak mampu membunuh mimpi siapa pun. Anak-anak seperti Dimas hanya membutuhkan sedikit ruang, bimbingan, dan kesempatan. Ia membuktikan bahwa semangat belajar tidak mengenal batas, dan cita-cita tetap hidup meski di tengah keterbatasan.
Dengan langkah kecilnya, Dimas berani melangkah menuju masa depan yang lebih cerah—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk generasi setelahnya.